BAB 8
DESA YANG MENGALAMI STAGNASI
TEKNOLOGI
Desa di kabupaten Subang, yang
berada kurang lebih 120 km sebelah timur Jakarta dan kira-kira 40 km timur laut
Bandung. Desa ini di survei pada tahun 1968-1972 yang dilakukan oleh survei
Agro Ekonomi Indonesia.
1.1 Tekanan Penduduk dan
Diferensiasi Kelas
1.2.1 Profil Desa
Desa ini dinamakan Desa Subang
Selatan, karena terletak di kaki pegunungan di batas sebelah selatan Kabupaten
Subang. Desa ini dihubungkan oleh sebuah jalan yang tidak beraspal kira-kira
sepanjang 5 km. sebagian besar daerah desa itu terdiri dari sawah, dan rumah-rumah
yang berbentuk kampung di balik rumpunan pohon kelapa dan pisang.
Kampung tersebut terdiri dari 29
hektar tanah, yaitu 26 hektar terdiri dari sawah dan 3 hektan kebun sayuran dan
kolam ikan. Kira-kira 90 % dari sawah tersebut di panen dua kali setahun dengan
sumber air melalui system irigasi Negara yang dinamakan sistem Leuwinangka.
Kampung ini didiami oleh migran dari
kampung-kampung lain di desa yang sama dan desa-desa yang berdekatan pada
pertengahan abad ke-19 yang lalu. Pendapatan rata-rata perumah tangga dan per kapita
adalah Rp. 148.214,- (AS $ 247) dan Rp. 38.911.- (AS $ 65). Sumber produksi pendapatan yang utama adalah padi, dan ini terdiri
dari tiga cara : pendapatan dari mengusahakan sawah sendiri, pendapatan dari
upah mengerjakan sawah, dan penerimaan sewa tanah, yang seluruhnya mencapai
sampai 44% pendapatan rata-rata seluruh rumah tangga. Usaha-usaha diluar
bertani terdiri dari berbagai aktivitas, seperti penggilingan padi, berdagang,
kerajinan tangan dan menarik becak, merupakan sumber kedua yang paling penting
bagian pendapatan sejumlah 34%. Pendapatan dari upah diluar bertani dengan 12%
bagian, teruma berasal dari kerja bangunan. Uasaha diluar bersawah, seperti
beternak dan menanam buah-buahan, termasuk sumber pendapatan yang dapat
dikatakan kecil.
Tingkat pendapatan petani-petani
besar jauh lebih tinggi dari pendapatan para petani lainnya. Rata-rata
pendapatan petani besar hamper empt kali lebih tinggi dan pendapatan pekapita
mereka tiga kali lebih tinggi dari petani kecil dan buruh tani yang tidak
memiliki tanah. Beberapa petani besar mengusahakan perusahaan-perusahaan
dagang, seperti took-toko kecil, penggilingan beras dan pengusahaan bis mini.
Hampir sepertiga dari petanikecil tidak memiliki tanah, maka mereka tidak
memiliki sumber pendapatan utama bertani tetapi mengambil upah di usaha
pertanian.
Tekanan Penduduk
Menurut hasil survey pada waktu itu,
kampong ini terdiri dari 110 rumah tangga dengan 419 orang anggota. Dilihat
dari piramida penduduk bahwa perlambatan yang berarti dalam angka pertumbuhan
penduduk telah terjadi selama 3 sampai 4 dasawarsa yang lalu. Angka pertumbuhan
penduduk secara alamiah menurun dari 3% per tahun menjadi kurang dari 1% selama
masa 40 tahun yang sudah berlalu.
Meskipun telah diperkenalkan program
keluarga berencana pada tahun 1975 tetapi angka kelahiran sudah menurun jauh
dari sebelumnya. Paa tahun 1950-an telah begitu tinggi dan kesempatan mencari
nafkah menjadi langka, sehingga penduduk desa telah dipaksakan untuk mengurangi
besarnya keluarga bahkan sebelum diperkenalkan keluarga berencana secara
formal. Akibatnya tingkat pertumbuhan penduduk tampak melambat selama beberapa
dasawarsa belakangan ini, seharusnya angkatan kerja bertambah agak cepat, namun
tampaknya pertumbuhan tenaga kerja pun telah mulai semakin lambat, karena tidak
adanya perluasan tanah garapan.
Struktur Agraria
Desa ini, seperti di sebagian
besar desa di Jawa, bertani di sawah
sendiri merupakan bentuk penguasaan tanah yang dominan. Hasil survei sebanyak
83% petak sawah dan 89% luas sawah digarap oleh pemiliknya sendiri.
Diferensiasi kelas dilihat dari sudut pemilikan tanah sawah telah sangat
mencapai tingkat tinggi.
Perubahan-Perubahan dalam Pertanian
Padi
Varietas dan Pupuk
Hasil padi rata-rata pada musim
panas 1978 hampir 3 ton gabah kering per hektar. Tingginya pendapatan gabah ini
disebabkan oleh tingginya pemakaian pupuk dan bahan kimia . petani di desa ini
menggunankan varietas tradisional, adapun yang mencoba varietas modern tetapi
beralih kembali menjadi varietas tradisional, karena jenis-jenisnya sangat peka
terhadap hama. Sementara penggunaan pupuk urea dan TSP telah naik 190 kg tahun
1968-1971 menjadi 230 kg di tahun 1978.
Masukan Tenaga Kerja
Kebutuhan tenaga kerja rata-rata per
hektar pada musim panas tahun 1978 adalah 1.252 jam atau 156 hari, dengan
asumsi 8 jam kerja untuk satu orang per hari. Pengolahan, pemindahan bibit,
menyiangi rumput dan memanen untuk para petani besar, merupakan kesempatan
kerja yang penting bagi buruh tani yang tidak memiliki tanah dan bagi para
petani kecil.
Masukan tenaga kerja untuk pekerjaan
pra panen dalam produksi padi per hektar telah bertambah 26% dari tahun
1968-1971 sampai 1978.
Perubahan-Perubahan dalam Sistem
Panen Padi
Dari bawon keceblokan
Sistem bawon tradisional di Jawa
telah digantikan oleh sistem ceblokan. Didalam sistem ceblokan, seperti sistem
gama di Filipina, para tenaga kerja yang dikerjakan untuk panen terbatas pada
mereka yang melakukan tugas-tugas tambahan tanpa ibayar, seperti memindahkan
bibit dan menyiangi rumput. Di desa ini, sistem ceblokan pertama dijalankan
pada tahun 1964 oleh 7 orang petani. Cara ini dengan cepat menggantikan bawon.
Dan menjelang tahun 1978 melbihi 95% petani yang menggunakan sistem ceblokan.
Hubungan Majikan-Pekerja
Akibat pergeseran tatanan, sehingga
para petani besar biasanya menjadi perintis dan petani kecil mengikutinya.
Akibatnya semakin luas usaha taninya semakin besar kecenderungannya untuk
menjadi kurang dermawan dalam memperkerjakan para buruh tani.
Peranan Ceblokan
Sistem ceblokan, seperti gama di
Filipina, dapat dianggap sebagai suatu inovasi kelembagaan yang dipakai oleh
petani majikan untuk mengurangi tingkat upah panen ke satu tingkat yang sama
dengan tingkat upah yang di pasaran. Sistem ini membantu memperkuat hubungan
bapak-anak buah antara majikan dan pekerja dengan memberikan hak memanen secara
eksklusif khusus kepada para pekerja.
Perubahan dalam Distribusi Pendapatan
Naiknya hasil padi belum berarti,
naiknya jumlah angkatan tenaga kerja yang berhadapan dengan sumber daya tanah
yang terbatas dalam stagna teknologi telah mengakibatkan menurunnya keuntungan
ekonomi bagi tenaga kerja, tingkat upah riil untuk pengolahan tanah yang
menurun, karena pemakai cangkul telah dikalahkan oleh bajak yang di tarik
hewan, dan pengurangan tingkat pendapatan riil untuk kerja pemanen telah
berubah melalui kelembagaan dalam bentuk pergeseran dari sistem bowon ke
ceblokan. Seluruh proses ini telah menunjukkan, bahwa distribusi pendapatan
telah menjadi semakin tidak imbang.
Dasar Ekonomi Ketidakadilan yang
Bertambah Besar
Penekanan keras terhadap sumber daya
tanah yang dilakukan oleh penduduk daerah Subang yang terbatas dalam keadaan
teknologi yang konstan, batas-batas pegusahaan tanah diperluas kedaerah yang
lebih marjinal, dan tenaga kerja yang telah diperkerjakan untuk setiap unit
tanah yang ditanami jumlahnya lebih besar; biaya produksi pangan meningkat dan
harga–harga pangan naik;dalam jangka panjang, kaum pekerja akan menurun sampai
batas minimum untuk hidup yang hampir tidak cukup untuk mempertahankan jumlah
penduduk yang tetap, dan semua surplus akan diambil oleh para tuan tanah dalam
bentuk kenaikan sewa tanah.
BAB 9
DESA YANG MENGALAMI KEMAJUAN
TEKNOLOGI
Desa Subang Utara adalah desa yang
yang terdapat di daerah penghasil padi sepanjang pantai Laut Jawa, kira-kira 20
km sebelah utara Subang Selatan.
Desa Subang selatan yang mempunyai
tofografi berbukit keliling dengan gunung-gunung, sedang dasa Subang Utara
terletak diatas dataran pantai yang benar-benar rata. Sawah-sawah di desa ini
telah diairi dengan sistem pengairan setempat yang dinamakan sistem macan. Sistem
ini hanya mengairi sawah padamusim hujan dan persediaan air tidak dapat
ditentukan, sehingga hasil padinya rendah dan tidak tetap. Sejak proyek
jatiluhur diperluas, panen padi ganda telah umum dilakukan dan varietas modern
tersebar dengan cepat, dengan akibat pertambahan hasil yang besar per
hektarnya. Maka perubahan dinamis dalam teknologi produksi padi di Desa Subang
Utara sangat berlainan dengan stagna di Desa Subang Selatan.
Pola demografi dan struktur agraris
Dibanding dengan desa Subang Selatan,
dengan segala bukti yang menunjukkan bahwa kepadatan penduduk sudah mencapai
titik jenuh, rasio manusia-tanah di Desa Subang Utara tidaklah begitu tinggi.
Jumlah seluruh penduduk tahun 1979 adalah 774 orang (375 laki-laki dan 399
perempuan) untuk 65 hektar sawah.
Para pemukim awal desa Subang Utara
membuka tanah tak bertuan dan melaksanakan usaha pertanian yang sangat ekstensif
dalam keadaan tadah hujan.karena hasil padi yang tergantung pada keadaan tadah
huajan ini hanya kira-kira 1,5 ton per hektar, diperlukan suatu tanah garapan
seluas 2 hektar untuk menghidupi keluarga.
Sejalan dengan intensifikasi
pertanian padi yang disebabkan oleh pembangunan irigasi, permintaan akan tenaga
kerjapun meningkat dan sejumlah besar pendatang mengalir ke desa ini. Para
migran baru menetap di desa ini sebagai penggarap bagi hasil pada para pemukim
lama ataupun sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki tanah.
Perubahan-perubahan dalam usahatani
padi
Perubahan yang paling penting dalam
ekonomi desa dalam dua dasawarsa yang lalu ini adalah perluasan sistem
pengairan jatiluhur ke desa ini.
TERUSKANN!!...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar