ASSALAMUALAIKUM

Selasa, 08 November 2016

DESA

BAB 8
DESA YANG MENGALAMI STAGNASI TEKNOLOGI
Desa di kabupaten Subang, yang berada kurang lebih 120 km sebelah timur Jakarta dan kira-kira 40 km timur laut Bandung. Desa ini di survei pada tahun 1968-1972 yang dilakukan oleh survei Agro Ekonomi Indonesia.
1.1 Tekanan Penduduk dan Diferensiasi Kelas
1.2.1 Profil Desa
Desa ini dinamakan Desa Subang Selatan, karena terletak di kaki pegunungan di batas sebelah selatan Kabupaten Subang. Desa ini dihubungkan oleh sebuah jalan yang tidak beraspal kira-kira sepanjang 5 km. sebagian besar daerah desa itu terdiri dari sawah, dan rumah-rumah yang berbentuk kampung di balik rumpunan pohon kelapa dan pisang.
Kampung tersebut terdiri dari 29 hektar tanah, yaitu 26 hektar terdiri dari sawah dan 3 hektan kebun sayuran dan kolam ikan. Kira-kira 90 % dari sawah tersebut di panen dua kali setahun dengan sumber air melalui system irigasi Negara yang dinamakan sistem Leuwinangka.
Kampung ini didiami oleh migran dari kampung-kampung lain di desa yang sama dan desa-desa yang berdekatan pada pertengahan abad ke-19 yang lalu. Pendapatan rata-rata perumah tangga dan per kapita adalah Rp. 148.214,- (AS $ 247) dan Rp. 38.911.- (AS $ 65). Sumber produksi pendapatan yang utama adalah padi, dan ini terdiri dari tiga cara : pendapatan dari mengusahakan sawah sendiri, pendapatan dari upah mengerjakan sawah, dan penerimaan sewa tanah, yang seluruhnya mencapai sampai 44% pendapatan rata-rata seluruh rumah tangga. Usaha-usaha diluar bertani terdiri dari berbagai aktivitas, seperti penggilingan padi, berdagang, kerajinan tangan dan menarik becak, merupakan sumber kedua yang paling penting bagian pendapatan sejumlah 34%. Pendapatan dari upah diluar bertani dengan 12% bagian, teruma berasal dari kerja bangunan. Uasaha diluar bersawah, seperti beternak dan menanam buah-buahan, termasuk sumber pendapatan yang dapat dikatakan kecil.
Tingkat pendapatan petani-petani besar jauh lebih tinggi dari pendapatan para petani lainnya. Rata-rata pendapatan petani besar hamper empt kali lebih tinggi dan pendapatan pekapita mereka tiga kali lebih tinggi dari petani kecil dan buruh tani yang tidak memiliki tanah. Beberapa petani besar mengusahakan perusahaan-perusahaan dagang, seperti took-toko kecil, penggilingan beras dan pengusahaan bis mini. Hampir sepertiga dari petanikecil tidak memiliki tanah, maka mereka tidak memiliki sumber pendapatan utama bertani tetapi mengambil upah di usaha pertanian.
Tekanan Penduduk
Menurut hasil survey pada waktu itu, kampong ini terdiri dari 110 rumah tangga dengan 419 orang anggota. Dilihat dari piramida penduduk bahwa perlambatan yang berarti dalam angka pertumbuhan penduduk telah terjadi selama 3 sampai 4 dasawarsa yang lalu. Angka pertumbuhan penduduk secara alamiah menurun dari 3% per tahun menjadi kurang dari 1% selama masa 40 tahun yang sudah berlalu.
Meskipun telah diperkenalkan program keluarga berencana pada tahun 1975 tetapi angka kelahiran sudah menurun jauh dari sebelumnya. Paa tahun 1950-an telah begitu tinggi dan kesempatan mencari nafkah menjadi langka, sehingga penduduk desa telah dipaksakan untuk mengurangi besarnya keluarga bahkan sebelum diperkenalkan keluarga berencana secara formal. Akibatnya tingkat pertumbuhan penduduk tampak melambat selama beberapa dasawarsa belakangan ini, seharusnya angkatan kerja bertambah agak cepat, namun tampaknya pertumbuhan tenaga kerja pun telah mulai semakin lambat, karena tidak adanya perluasan tanah garapan.
Struktur Agraria
Desa ini, seperti di sebagian besar  desa di Jawa, bertani di sawah sendiri merupakan bentuk penguasaan tanah yang dominan. Hasil survei sebanyak 83% petak sawah dan 89% luas sawah digarap oleh pemiliknya sendiri. Diferensiasi kelas dilihat dari sudut pemilikan tanah sawah telah sangat mencapai tingkat tinggi.
Perubahan-Perubahan dalam Pertanian Padi
Varietas dan Pupuk
Hasil padi rata-rata pada musim panas 1978 hampir 3 ton gabah kering per hektar. Tingginya pendapatan gabah ini disebabkan oleh tingginya pemakaian pupuk dan bahan kimia . petani di desa ini menggunankan varietas tradisional, adapun yang mencoba varietas modern tetapi beralih kembali menjadi varietas tradisional, karena jenis-jenisnya sangat peka terhadap hama. Sementara penggunaan pupuk urea dan TSP telah naik 190 kg tahun 1968-1971 menjadi 230 kg di tahun 1978.
Masukan Tenaga Kerja
Kebutuhan tenaga kerja rata-rata per hektar pada musim panas tahun 1978 adalah 1.252 jam atau 156 hari, dengan asumsi 8 jam kerja untuk satu orang per hari. Pengolahan, pemindahan bibit, menyiangi rumput dan memanen untuk para petani besar, merupakan kesempatan kerja yang penting bagi buruh tani yang tidak memiliki tanah dan bagi para petani kecil.
Masukan tenaga kerja untuk pekerjaan pra panen dalam produksi padi per hektar telah bertambah 26% dari tahun 1968-1971 sampai 1978.
Perubahan-Perubahan dalam Sistem Panen Padi
Dari bawon keceblokan
Sistem bawon tradisional di Jawa telah digantikan oleh sistem ceblokan. Didalam sistem ceblokan, seperti sistem gama di Filipina, para tenaga kerja yang dikerjakan untuk panen terbatas pada mereka yang melakukan tugas-tugas tambahan tanpa ibayar, seperti memindahkan bibit dan menyiangi rumput. Di desa ini, sistem ceblokan pertama dijalankan pada tahun 1964 oleh 7 orang petani. Cara ini dengan cepat menggantikan bawon. Dan menjelang tahun 1978 melbihi 95% petani yang menggunakan sistem ceblokan.
Hubungan Majikan-Pekerja
Akibat pergeseran tatanan, sehingga para petani besar biasanya menjadi perintis dan petani kecil mengikutinya. Akibatnya semakin luas usaha taninya semakin besar kecenderungannya untuk menjadi kurang dermawan dalam memperkerjakan para buruh tani.
Peranan Ceblokan
Sistem ceblokan, seperti gama di Filipina, dapat dianggap sebagai suatu inovasi kelembagaan yang dipakai oleh petani majikan untuk mengurangi tingkat upah panen ke satu tingkat yang sama dengan tingkat upah yang di pasaran. Sistem ini membantu memperkuat hubungan bapak-anak buah antara majikan dan pekerja dengan memberikan hak memanen secara eksklusif khusus kepada para pekerja.
Perubahan dalam Distribusi Pendapatan
Naiknya hasil padi belum berarti, naiknya jumlah angkatan tenaga kerja yang berhadapan dengan sumber daya tanah yang terbatas dalam stagna teknologi telah mengakibatkan menurunnya keuntungan ekonomi bagi tenaga kerja, tingkat upah riil untuk pengolahan tanah yang menurun, karena pemakai cangkul telah dikalahkan oleh bajak yang di tarik hewan, dan pengurangan tingkat pendapatan riil untuk kerja pemanen telah berubah melalui kelembagaan dalam bentuk pergeseran dari sistem bowon ke ceblokan. Seluruh proses ini telah menunjukkan, bahwa distribusi pendapatan telah menjadi semakin tidak imbang.
Dasar Ekonomi Ketidakadilan yang Bertambah Besar
Penekanan keras terhadap sumber daya tanah yang dilakukan oleh penduduk daerah Subang yang terbatas dalam keadaan teknologi yang konstan, batas-batas pegusahaan tanah diperluas kedaerah yang lebih marjinal, dan tenaga kerja yang telah diperkerjakan untuk setiap unit tanah yang ditanami jumlahnya lebih besar; biaya produksi pangan meningkat dan harga–harga pangan naik;dalam jangka panjang, kaum pekerja akan menurun sampai batas minimum untuk hidup yang hampir tidak cukup untuk mempertahankan jumlah penduduk yang tetap, dan semua surplus akan diambil oleh para tuan tanah dalam bentuk kenaikan sewa tanah.

BAB 9
DESA YANG MENGALAMI KEMAJUAN TEKNOLOGI
Desa Subang Utara adalah desa yang yang terdapat di daerah penghasil padi sepanjang pantai Laut Jawa, kira-kira 20 km sebelah utara Subang Selatan.
Desa Subang selatan yang mempunyai tofografi berbukit keliling dengan gunung-gunung, sedang dasa Subang Utara terletak diatas dataran pantai yang benar-benar rata. Sawah-sawah di desa ini telah diairi dengan sistem pengairan setempat yang dinamakan sistem macan. Sistem ini hanya mengairi sawah padamusim hujan dan persediaan air tidak dapat ditentukan, sehingga hasil padinya rendah dan tidak tetap. Sejak proyek jatiluhur diperluas, panen padi ganda telah umum dilakukan dan varietas modern tersebar dengan cepat, dengan akibat pertambahan hasil yang besar per hektarnya. Maka perubahan dinamis dalam teknologi produksi padi di Desa Subang Utara sangat berlainan dengan stagna di Desa Subang Selatan.
Pola demografi dan struktur agraris
Dibanding dengan desa Subang Selatan, dengan segala bukti yang menunjukkan bahwa kepadatan penduduk sudah mencapai titik jenuh, rasio manusia-tanah di Desa Subang Utara tidaklah begitu tinggi. Jumlah seluruh penduduk tahun 1979 adalah 774 orang (375 laki-laki dan 399 perempuan) untuk 65 hektar sawah.
Para pemukim awal desa Subang Utara membuka tanah tak bertuan dan melaksanakan usaha pertanian yang sangat ekstensif dalam keadaan tadah hujan.karena hasil padi yang tergantung pada keadaan tadah huajan ini hanya kira-kira 1,5 ton per hektar, diperlukan suatu tanah garapan seluas 2 hektar untuk menghidupi keluarga.
Sejalan dengan intensifikasi pertanian padi yang disebabkan oleh pembangunan irigasi, permintaan akan tenaga kerjapun meningkat dan sejumlah besar pendatang mengalir ke desa ini. Para migran baru menetap di desa ini sebagai penggarap bagi hasil pada para pemukim lama ataupun sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki tanah.
Perubahan-perubahan dalam usahatani padi
Perubahan yang paling penting dalam ekonomi desa dalam dua dasawarsa yang lalu ini adalah perluasan sistem pengairan jatiluhur ke desa ini.

TERUSKANN!!...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar